Penyair, Pengelola Program Bentara Budaya di Bali, Mahasiswa Magister Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Bali (ISI BALI). Juara Utama Lomba Penulisan Kritik Seni ISBI Bandung (2020), Emerging Writers UWRF 2021. Antologi Puisi Tunggal: Doa Ikan Kecil (2019), Gadis Minimarket dan Berita Hari Ini (2021).

Bali, Spies, dan Jebakan Romantisme

Selasa, 3 Juni 2025 06:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Roots (sumber: https://michaelschindhelm.com)
Iklan

Film Roots, meski diniatkan merayakan 100 tahun kehadiran Walter Spies di Bali, tampak terjebak dalam narasi bias romantisme Barat.

***

Menjelang petang di areal Water Garden, Museum ARMA, Ubud. Menyaksikan pemutaran film Roots, saya tak bisa menampik rasa penasaran sembari mengkhidmati lanskap dan nuansa Bali yang syahdu, dan sosok samar Walter Spies yang bimbang di antara bayang-bayang masa lalu. Di balik visual dan narasi memukau itu, segera muncul kecamuk pertanyaan: untuk siapa film ini dibuat? Bali manakah yang sedang dirindukan: Bali “asli” yang belum tersentuh, atau semata imajinasi Barat tentang Bali?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Film Roots, yang diproduksi untuk merayakan 100 tahun kehadiran Walter Spies di Bali, menyimpan romantisme yang mengundang tafsir kritis. Fiksi-dokumenter berdurasi hampir dua jam ini seolah hendak menarik penonton ke “Bali yang dulu”—Bali yang tenang, nyaris tak terganggu modernitas, dan dianggap ideal di mata Barat. Namun, di balik citra itu, film ini menyingkap lapis realitas lain: posisi sang pembuat film yang barangkali justru terjebak pada riak permukaan, nostalgia dan romantika masa lalu, tanpa sepenuhnya menyentuh denyut Bali hari ini.

Disutradarai oleh Michael Schindhelm, Roots (2024) menggenapi pameran bertajuk Roots – One Hundred Years of Walter Spies in Bali di Museum ARMA, Ubud, yang berlangsung dari 24 Mei hingga 14 Juni 2025. Pameran ini menampilkan karya seni lukis, poster grafis, instalasi, dan kreasi perupa kontemporer Bali seperti Made Bayak dan Gus Dark, yang menyerukan gugatan tentang situasi Bali hari ini: ketahanan budaya spiritual, konsumerisme global, krisis lingkungan, hingga tragedi 1965/66.

Memasuki ruang pamer, pengunjung disuguhi dinding bercat merah penuh gambar wajah Spies dengan tulisan “the invention of tradition”. Bale Daje ARMA sepenuhnya disulap, dinding-dinding penuh visual yang banal—ramai dengan seruan Sold Out, Bali for Sale, dan sejenisnya. Kesan yang muncul: pariwisata telah merusak alam dan tatanan Bali. Namun, benarkah sepenuhnya demikian?

Kembali ke film Roots, narasinya disampaikan melalui ‘roh’ Walter Spies yang mengembara di Bali masa kini, seolah merindukan Bali yang dulu. Dari sudut pandang kreatif sinema, ini sah sebagai strategi estetis. Namun, bukan tanpa pertanyaan: untuk apa Spies dipanggil kembali sebagai roh yang merindukan Bali masa lalu? Apakah kerinduan itu sungguh milik Spies, atau justru milik sang pembuat film—yang, sadar atau tidak, mewarisi lensa eksotis Barat tentang Bali? Pertanyaan ini merunut positioning Spies dan film Roots dalam dinamika kebudayaan Bali yang lebih kompleks daripada sekadar latar eksotis bagi para turis.

Bagi saya, film Roots, meski diniatkan merayakan 100 tahun kehadiran Walter Spies di Bali, tampak terjebak dalam narasi bias romantisme Barat—seolah Bali hanya latar eksotis yang memanggil kembali ‘roh’ Spies. Estetika film, dengan gambaran soal Bali yang damai dan sarat spiritual, memang memikat. Namun, di balik keindahan itu, muncul pertanyaan kritis: apakah narasi ini sungguh mewakili pengalaman Bali hari ini, atau hanya reproduksi nostalgia Barat yang melihat Bali sebagai “the otherness" yang menawan dan misterius?

Padahal, Bali jauh melampaui sekadar panggung eksotika bagi tamu asing. Yang sering luput dari film dan pameran ini adalah narasi para seniman dan perupa Bali sendiri—mereka yang tekun merawat akar tradisi, bergulat di antara modernitas dan ritual sehari-hari, dan membuktikan bahwa Bali bukan hanya inspirasi pasif, tetapi pusat kreativitas yang hidup. Film Roots belum sepenuhnya membuka ruang yang menempatkan Bali sebagai subjek; yang mengumuka justru seolah tengah menegaskan Bali sebagai objek memori Barat. Ini yang semestinya menjadi pijakan kritis: memosisikan Bali bukan hanya sebagai latar, tetapi sebagai ruang budaya yang berdiri tegak, dengan narasi yang tumbuh dari dalam.

Sebagai pengantar pemahaman lebih utuh, saya merasa perlu menelusuri riwayat dan jejak Walter Spies, serta bagaimana posisinya di Bali—agar kritik atas film ini tidak berhenti pada permukaan, melainkan beranjak dari realitas yang lebih luas.

Walter Spies lahir di Moskow pada 1895, anak seorang diplomat Jerman. Setelah meniti karier di dunia musik dan seni rupa di Jerman, ia hijrah ke Hindia Belanda pada akhir 1920-an. Awalnya tinggal di Yogyakarta sebagai konduktor orkestra Keraton, pesona Bali membawanya untuk menetap di Ubud pada 1927. Pada tahun 1936, Spies bekerja sama dengan Cokorda Gde Agung, Rudolf Bonnet, dan I Gusti Nyoman Lempad untuk membentuk Pita Maha—yang kemudian menjadi tonggak bersejarah bagi perkembangan seni rupa modern di Bali.

Spies memiliki ketertarikan mendalam pada kosmologi dan spiritualitas Bali. Karya-karyanya memadukan tradisi Bali dengan gaya ekspresionisme dan simbolisme Eropa, menghasilkan atmosfer magis yang khas. Pengaruh Bali bagi Spies sangat besar—ia menemukan di Bali dunia yang selaras dengan alam, penuh ritual dan harmoni kosmis. Persentuhan antara sensibilitas Spies dan tradisi Bali inilah yang menorehkan jejak penting dalam narasi kesenian Bali, meski kerap menimbulkan tafsir romantik yang belum tentu merepresentasikan realitas orang Bali.

Dalam peristiwa Roots – One Hundred Years of Walter Spies in Bali, sosok Spies seakan ditempatkan sebagai figur agung yang memberi pengaruh besar bagi Bali, khususnya di bidang seni rupa dan pertunjukan. Film dan pameran ini menyoroti kontribusi Spies melalui kolaborasi artistiknya—seperti pada pertunjukan Kecak bersama I Wayan Limbak. Namun, narasi ini memberi kesan seolah Bali baru menemukan identitas artistiknya setelah bersentuhan dengan figur Barat seperti Spies.

Padahal, jika kita menengok lebih dalam, tradisi seni rupa Bali telah lahir dan berkembang jauh sebelum para seniman asing datang menjejakkan kaki di pulau ini. Bali sendiri telah membangun perjalanan kebudayaan yang panjang—dengan identitas estetik yang dirumuskan dari dalam. Kehadiran Barat, termasuk Spies, bukanlah pangkal mula kreativitas orang Bali. Maka, jika film Roots memosisikan Spies seakan menjadi roh pelindung atau penyambung sejarah, itu adalah konstruksi yang tak adil—seolah Bali tak memiliki raga dan jiwa kebudayaannya sendiri.

Jauh sebelum kedatangan bangsa Barat, estetika seni rupa Bali telah tumbuh subur dan berpijak pada fondasi kulturalnya sendiri. Salah satu contohnya, Prasasti Baturan (1022 M), yang menjadi bukti sahih tentang keberadaan aktivitas para pelukis di lingkungan pura dan kerajaan. Ini menunjukkan bahwa tradisi visual Bali sudah memiliki akar yang mandiri dan bersifat otonom. Dalam prasasti tersebut tersuratkan adanya profesi citrakara (sebuah profesi bagi empu-empu yang piawai menggambar melukis), istilah culpika (empu-empu di bidang pemahat/patung), dan istilah-istilah profesi seni lain. Temuan ini menegaskan bahwa Bali bukan hanya “latar” bagi kreativitas Barat, tetapi sumber daya estetik yang hidup berabad-abad lamanya—bahkan sebelum nama Walter Spies tercatat dalam sejarah seni Bali.

Kronologi ini memperlihatkan jejak panjang seni rupa Bali. Setelah Prasasti Baturan menandai aktivitas seni lukis pada abad ke-11, muncul relief Yeh Pulu dari abad ke-14–15: mahakarya naratif yang mengisahkan mitologi dan kehidupan sehari-hari. Sementara itu, tradisi seni lukis Wayang Kamasan mencapai kejayaan pada abad ke-16 di masa Kerajaan Gelgel. Semua ini menegaskan bahwa tradisi visual Bali adalah hasil pergulatan panjang yang tak lahir dari pengaruh Barat.

Jika memang pameran Roots bertujuan merayakan dan menggali 100 tahun kehadiran Spies di Bali, alangkah baiknya jika seniman yang menekuni gaya Spies turut dilibatkan. Kehadiran merekalah yang justru menjadi jembatan penting: melacak pengaruh Spies dalam seni rupa Bali, sekaligus menggali bagaimana Bali memengaruhi perkembangan artistiknya. Bila boleh menyebut salah satunya, ialah I Wayan Wardita, seniman Bali yang konsisten mengembangkan gaya lukis Spies dan berpartisipasi dalam berbagai pameran, termasuk Bali Kandarupa—ajang seni rupa berkala yang mewadahi karya-karya klasik dan tradisional Bali, dihelat seturut Pesta Kesenian Bali (PKB). Wardita menunjukkan bagaimana warisan artistik Spies hidup berdampingan dengan tradisi Bali, menjadi penghormatan sekaligus transformasi yang relevan.

Alih-alih demikian, film Roots justru terjebak pada narasi: Bali hanya menjadi komoditas pariwisata yang merusak alam dan budaya. Satu sisi menegaskan dampak pariwisata, tetapi di sisi lain film ini sendiri memilih menampilkan eksotika penari tradisional Bali yang identik dengan citra turistik. Paradoks yang mencolok, bukan?

Bali yang Paradoks: Perubahan dan Ruang Dialog

Seni dan pariwisata memang membawa perubahan. Tapi perubahan adalah keniscayaan. Tanpa perubahan, bagaimana mungkin para seniman dan cendekiawan Bali—bahkan yang kini lintas bangsa—mampu menghadirkan karya dan gagasan mereka di berbagai forum internasional? Mereka menjadi contoh bahwa Bali tak menolak modernitas, melainkan merumuskan ulang tradisi dan identitasnya dalam dialog kreatif dengan dunia. Inilah wajah Bali hari ini: dinamis, namun tetap mengakar. Akar, mestinya, tidak dibaca sebagai ‘akar persoalan’ yang membelenggu—melainkan sebagai sumber daya hidup yang memungkinkan tradisi terus bertransformasi dan memberi makna di tengah perubahan.

Dialog kritis soal kehadiran pameran dan film Roots menukik pada satu kritik: positioning Spies mestinya dilihat lebih jernih—sebagai salah satu simpul dalam dinamika kultural Bali, bukan juru selamat apalagi simbol romantisme belaka. Sayangnya, film Roots sibuk menarasikan “kerinduan” Barat atas Bali melalui rangkaian fragmen-fragmen gagasan yang tidak sepenuhnya berhubungan langsung dengan Walter Spies, alih-alih menelisik bagaimana seniman Bali sendiri merumuskan ulang tradisi mereka. Padahal, di sanalah pintu masuk bagi dialog yang lebih jernih tentang hubungan modernitas dan warisan budaya.

Maka, patut kiranya direnungkan ulang; bagaimana seharusnya kita memaknai kehadiran tokoh-tokoh Barat di Bali? Bukan hanya Spies, tetapi juga Bonnet, Covarrubias, Arie Smit, hingga belakangan Jean Couteau—semua menorehkan jejak, semua dicatat dan dapat tempat seperti kata Chairil. 

Konsep Orientalism yang dikemukakan Edward Said memberikan kerangka kritis untuk membaca bagaimana wacana Barat kerap membentuk citra dunia Timur. Said menunjukkan bahwa “Timur” tidak sekadar dilihat sebagai eksotis dan primitif, tetapi juga dijadikan “yang lain” (the otherness)—sebuah lanskap yang romantik, sekaligus asing, yang mudah ditaklukkan. Ini adalah wacana yang lahir dari relasi kuasa kolonial: bagaimana Barat mendefinisikan, merumuskan, bahkan mengendalikan narasi tentang Timur demi kepentingan mereka sendiri. 

Dalam konteks Bali, jejak para tokoh Barat seperti Spies, Bonnet, Covarrubias, Arie Smit, hingga Jean Couteau memperlihatkan bahwa mereka memang membawa perspektif segar, menulis dan memotret Bali—tetapi tidak berarti sepenuhnya bebas dari romantisme yang menempatkan Bali sebagai “yang lain” yang menawan, eksotis, dan misterius. Sebagaimana dicatat Edward Said, ini adalah bias kultural yang tampak halus, tetapi terus membayangi cara Barat memandang Timur—menempatkan Bali sebagai latar, bukan subjek yang hidup dan berdaulat.

Namun ironisnya, bias romantisme ini tidak hanya datang dari luar. Sebagian perspektif lokal yang hari ini menggugat dominasi pariwisata dan globalisasi di Bali pun kadang terjebak dalam nostalgia “Bali yang murni”—seakan Bali harus selalu “tenang dan murni” tanpa berubah. Padahal, Bali sendiri adalah entitas yang dinamis, yang terus merumuskan ulang identitas dan tradisinya dalam dialog dengan zaman. Ini mengingatkan pada kritik Said bahwa orientalisme tidak hanya monopoli wacana Barat, tetapi juga bisa muncul dari cara dunia Timur mendefinisikan dirinya sendiri—dalam bayang-bayang romantisme dan kolonialisme yang belum tuntas diurai. Maka, tantangan kita adalah bagaimana melepaskan diri dari jebakan itu—baik dalam pandangan orang Barat, maupun bias sebagian orang Bali sendiri—untuk benar-benar merayakan kedaulatan narasi lokal yang tumbuh dan hidup dari dalam.

Dalam konteks itulah, film Roots luput menyadari bahwa posisi Spies, Bonnet, dan kawan-kawan hanyalah episode—bukan sumber. Mereka hadir memberi warna, tetapi Bali sendiri tetap menjadi sumber yang tak habis-habis. Mengakui ini berarti mengakui kedaulatan kreativitas orang Bali—dan inilah benih bagi dialog yang lebih adil dan setara.

Bonnet, misalnya, memiliki relasi terbuka dengan seniman Bali dalam Pita Maha. Ia memotret keseharian orang Bali, meski tetap dalam kerangka eksotisme. Arie Smit, pelukis Belanda yang tinggal di Bali sejak 1956, melahirkan gerakan Young Artists di Penestanan yang menandai kebebasan warna dan imajinasi generasi muda Bali. Tokoh seperti Thomas Freitag (Wayan Sukra) memilih menyatu dalam laku spiritual desa, bukan sekadar mengamati. Jean Couteau, dengan refleksi sosiokulturalnya, turut memberi tafsir kritis atas dinamika kebudayaan Bali masa kini. Mereka semua menunjukkan: relasi Bali dan orang Barat tak pernah satu arah; Bali bukan hanya memberi inspirasi, tetapi juga daya juangnya sendiri,  kearifan dan nilai-nilai yang bahkan berkontribusi mengubah cara pandang Barat tentang seni dan hidup.

Tentu saja kita tidak hendak meniadakan jejak Spies dan tokoh-tokoh Barat, tetapi memberi ruang lebih luas bagi narasi lokal. Film Roots bisa menjadi pemantik dialog: bagaimana seharusnya pameran, film, dan festival budaya Bali menempatkan sejarah dan narasi lokal sebagai pusat—bukan semata ornamentasi dan orkestrasi?! 

Membaca Akar, Menimbang Tradisi

Bali Kandarupa adalah contoh yang menegaskan ini: peristiwa yang tidak menempatkan Spies di pusat, tetapi menjadi ruang bagi para perupa Bali. Karya-karya seni rupa Bali dari Batuan, Kamasan, Ubud, Padangtegal, Penestanan, Pengosekan, Tebesaya, Keliki, hingga Nagasepaha menjadi saksi bahwa Bali memiliki akar yang kokoh—dan akar itu bukan milik siapa pun selain orang Bali sendiri. Pameran ini menunjukkan bahwa tradisi bukanlah “kerajinan” untuk dijual, tetapi medan kreasi, refleksi estetik, dan warisan kultural yang hidup. 

Perupa Bali Kandarupa yang tekun menggali teknik klasik dan tradisional Bali sebagai laku cipta mereka, terbukti tidak sedang meratapi Bali yang hilang atau terjebak dalam romantisme. Mereka justru menegaskan bahwa elan kreatif seni rupa tradisi adalah ruang hidup yang terus diolah, dirawat, dan dirumuskan ulang. Mereka menghadirkan teknik warisan leluhur bukan sebagai kelangenan masa lalu, tetapi sebagai bentuk penghormatan yang kontekstual dengan zaman. Bali Kandarupa juga menjadi pengingat: di balik setiap karya tradisi, ada disiplin teknik, pergulatan batin, dan laku spiritual yang menjadi napas seniman.Seniman-seniman tradisi Bali ini menunjukkan bahwa karya yang lahir dari akar adalah karya yang bukan hanya untuk dikagumi, tetapi juga mengundang renungan. 

Lebih jauh, penting kiranya mengajak semua pihak—kurator, sutradara film, penulis, akademisi—untuk lebih jernih membaca Bali bukan sekadar “ruang inspirasi”, tetapi sebagai ruang hidup yang penuh dinamika suka duka, dengan seniman yang terus merumuskan identitas di antara gelombang zaman. Dalam dialog semacam ini, kritik bukan berarti menafikan karya. Sebaliknya: kritik adalah pintu saling mendengar, mengurai kebiasaan lama yang menempatkan Bali hanya sebagai “objek”. Kritik membuka peluang bagi seni dan film menjadi jembatan penghubung—bukan tembok yang membatasi.

Jebakan romantisme, pada akhirnya, selalu berbahaya. Ia membuat kita lupa bahwa di balik keindahan tarian dan lukisan Bali, ada sejarah panjang pergulatan dan perlawanan. Ada seniman yang menggurat harapan di antara retakan pariwisata. Ada perupa yang merawat warisan bukan demi pasar, tetapi demi harga diri kebudayaan.

Film Roots, meski punya niat baik, harus diimbangi dengan kesadaran: setiap narasi punya batas. Dan batas itu adalah ruang bagi orang Bali sendiri untuk berbicara—bukan soal menolak yang datang, tetapi soal mendengar lebih dalam. Dalam semangat itu, film Roots bukan narasi tunggal dan final, melainkan medium yang mengundang, serta mesti didialogkan. Ada aneka perspektif, banyak suara, dan beragam kemungkinan untuk merumuskan ulang hubungan Bali dengan dunia.

Pada akhirnya, bagi saya, kembali ke akar bukan berarti menolak yang datang. Melainkan memastikan bahwa akar itu tak pernah tercabut, meski angin zaman terus berubah. Bali telah membuktikan bahwa akar tradisinya tetap hidup, memberi arah bagi seni dan kebudayaan yang terus berkembang di tengah berbagai dinamika. Diperlukan pula kesediaan untuk terbuka dalam ruang dialog yang berpijak pada perspektif kritis dan menyeluruh, guna memahami kompleksitas sosial, budaya, dan dinamika dunia global—agar kita selalu bisa memandang Bali beserta segala fenomenanya secara lebih komprehensif dan jernih.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ni Wayan Idayati

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua